Drama

Menjelang masuk ke sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, dimulailah drama keluarga berjudul,

“Kita bikin kue apa buat lebaran?”

Pemerannya makhluk Venus semua, makhluk Mars menyingkir ke pinggir, memberi ruang sembari menonton para Venus berdiskusi panjang yang bisa lebih seru dari kasus warung yang buka di siang hari saat Ramadhan.

Yes, just define what lebay is, and we’re really maxes it.

Kalimat sederhana semacam, “Bun kita gak usah bikin kue ya, beli aja,” bisa menyebabkan muntahan kata-kata yang lebih panjang daripada satu episode Uttaran. Dan, diulang-ulang terus saat kamu udah lupa pernah ngomong kayak gitu, untuk memberi serangan secara psikis. Beneran lho, rasanya kayak kamu udah lega pas tau Icha mati, dan mikir pasti ceritanya udah tamat, eh taunya ceritanya beralih ke drama Mitti dengan keluarga mertua, yang kemungkinan besar bakalan lanjut meskipun ntar Mitti mati, dan ceritanya beralih ke anaknya Mitti.

Capek ati!

Jadi, daripada berpanjang lebar kamu nyerah dan bilang, “Iya bun, iyaa kita bikin kuee. Nggak usah beli, meskipun semua manusia di bumi beli kue buat lebaran sampai kapanpun kita gak akan beli kue karena kita bisa bikin sendiri.”

Sebenernya, bikin kue kering nggak semengerikan itu kok. Masalahnya hanyalah, aku cepet bosan melakukan sesuatu yang sama berulang kali. Bayangin kalo bikin kue kering, bentuknya kecil-kecil unyu, pake hiasan diatas, dan kamu mencetak sekitar sejuta kali bentuk yang sama. Belum lagi kalo bikin kue kita nggak bisa ngasal, bahan-bahannya mesti ditakar sedemikian rupa (walaupun aku suka ngasal juga sih, hha, misalnya butter harusnya 50gr aku kasih 100 gr biar lebih enak). Trus harus rapi dan telaten. Sesuatu yang aku nggak terlalu mahir. Temenku Sarimbit bisa ngasih hiasan keju di atas kue wafer yang kejunya lurus semua, aku jadinya kayak tulisan Cina 😂.

Kamaren iseng ngomong ke Bubun, “Kalau boleh milih aku lebih suka masak daripada bikin kue kayak gini. Capek.”
Dan as usual, si Bubun mukanya langsung kayak tokoh antagonis di Uttaran (gak tau namanya siapa), “Ya nggak bisa gitu dong, kita harus menyukai segala sesuatu saat mengerjakannya.”
“Ya kan ceritanya kalau boleh milih.”
“Saat bikin kue ya kita suka bikin kue, saat masak kita juga harus suka masak.”
“Kan pilihan Bun, emang kita nggak boleh punya pilihan?”
“Udah ah, baru segini doang udah ngeluh capek. Liat tuh temen kamu Purple, dia bisa bla-bla-bla (ceramah sepanjang satu episode Uttaran lagi 😂😂😂).

Iya. Orangtua selalu benar dan entah kenapa saat ngomelin selalu banding-bandingin sama anak orang.

Padahal kalau aku minta dituker beneran sama anak orang si Bubun pasti nggak mau.

Hahaa 😂😂.

Love you Mom, as always.

Loner

Kenapa kita begitu meributkan tentang kesendirian, bu?

Hari ini, ketika aku mengemasi barang-barangku dan memasukkannya ke dalam koper, aku tertawa oleh lelucon pribadi. Kelak, ketika Allah mengizinkan kita untuk bertemu di rumah dan Ibu membongkar isi koperku, Ibu akan menemukan beberapa lembar pakaian dan banyak sekali buku. Lalu aku membayangkan, dahi Ibu akan mengernyit dan kemudian memberiku pandangan yang menyiratkan -apakah-jumlah-buku-di-kamarmu-masih-kurang-banyak-sehingga-kita-masih-membutuhkan-barang-barang-ini dan kurasa aku hanya akan tertawa saja.

Biar kuceritakan satu rahasia pada Ibu, yang mungkin sebelum ini belum sempat kuceritakan (kurasa aku akan menunjukkan tulisan ini nanti, tapi sekarang kutuliskan saja agar aku tidak lupa).

Tentang buku-buku itu.

Mereka pernah menjadi duniaku, bu. Orang-orang penyendiri sepertiku pasti memahami hal ini. Aku ingat, ketika aku masih tinggal di rumah, Ibu pernah mengomel melihatku berada di kamar seharian, nyaris tidak mempedulikan apapun selain buku yang sedang kubaca. Aku menghilang di balik lembaran-lembaran kisah menakjubkan yang ditulis orang lain, dan setengah berharap kisahku akan semenakjubkan kisah mereka. Aku masih muda sekali saat itu.

Aku melewatkan banyak hal dalam masa-masa remajaku, yang omong-omong sangat kusyukuri hari ini begitu melihat lagi ke belakang. Tidak sekali dua kali, orang-orang menyuruhku untuk ‘bergaul’. Aku mencoba bu, percayalah. Namun, selalu saja ketika aku berusaha untuk berbaur dengan lingkungan di sekitarku, tak lama kemudian, aku ‘menghilang’. Aku tidak pernah bisa untuk benar-benar terlibat di dalamnya. Ada banyak sekali hal yang berseliweran di kepalaku yang tidak mampu kuungkapkan, dan ketika aku diam dan tidak memberikan respon apapun, mereka menuduhku terlalu cuek atau terlalu pendiam atau terlalu tidak peduli pada hal apapun selain diriku.

Singkatnya, aku manusia cuek dan egois yang tidak bisa lepas dari cangkangku.

Aku tidak membantahnya bu, aku membiarkan saja mereka berpikir begitu. Karena, ketika seseorang tidak bisa ‘membaca’ kita, mereka akan membuat cerita lain dari versi mereka sendiri tanpa mempedulikan apakah itu akan menyakitkan atau tidak. Tapi aku sudah lama sekali berdamai dengannya, bu. Menjadi penyendiri mengajarkanku hal itu. Sama seperti aku yang mungkin tidak bisa memahami pikiran mereka, mereka juga tidak perlu memahami pikiranku. Ada hal-hal yang semestinya kita biarkan begitu saja tanpa kita perlu memaksakan pendapat kita.

Aku menyukai musim hujan sebesar aku menyukai hari yang cerah, bu. Aku membaca banyak sekali buku, bertemu banyak sekali orang dan terlibat dalam banyak sekali kisah di dalamnya. Aku hidup dalam masa dan tempat yang acak. Seseorang pernah mengatakan kalau apa-apa yang kubaca, bukan hal yang penting. Kisah-kisah itu tidak menambah ilmu dan pengetahuanku. Hal-hal yang kubaca hanyalah omong kosong yang dituliskan orang lain. Pikiran liar orang-orang yang tidak kukenal, dan lalu kemudian dikemas secara apik dan dengan cerdik mereka menyebutnya fiksi. Dia benar. Semua itu memang omong kosong. Dunia menakjubkan itu tidak ada sama sekali. Aku menyadarinya. Namun yang tidak aku jelaskan padanya, dan juga pada orang-orang lain yang berpikiran serupa adalah, hal-hal yang ditimbulkan ‘omong-kosong’ itu pada sosok penyendiri sepertiku, bu.

Aku melihat dunia dari sisi yang berbeda, kita mengenalnya dengan sebutan imajinasi, bu. Ibu tahu, saat aku pertama kalinya menginjakkan kaki di kota ini, sendirian saja, aku takut sekaligus bersemangat di saat yang sama. Aku menaiki commuter line untuk pertama kali dari Jakarta ke Bogor, dan membayangkan saat itu aku tengah dalam perjalanan kerja dari Perancis ke Belgia. Aku menikmatinya dan tertawa pada diriku sendiri. Lalu, saat aku pulang dari kantor malam-malam, terjebak macet dengan bus yang penuh sesak oleh pekerja sepertiku, aku membayangkan diriku adalah tokoh utama dalam suatu novel. Aku suka melihat Jakarta saat malam, dan tidak keberatan harus berlelah-lelah dan berdesak-desakan dalam bus dengan manusia yang mengeluh dan mengutuk keadaan. Aku sungguh-sungguh tidak keberatan dengan hal itu. Lalu kemudian, temanku di tempat kerja mengutarakan pendapatnya, bersikeras mengatakan kalau aku pasti capek harus melalui hal itu setiap hari. Aku tercengang sebenarnya, seolah dia lebih memahami perasaanku dibandingkan aku sendiri. Tapi seperti yang Ibu tahu, aku tidak repot-repot menjelaskan kalau aku ini tokoh di dalam novel. Aku akan ditatap dengan pandangan seolah aku sudah gila.

Kita ini lucu ya, bu?

Allah mengirimkan kita ke dunia ini sendirian. Dia menciptakan kita menjadi satu-satunya di dunia ini, tanpa tandingan, karena Dia mengetahui dengan pasti setiap kelemahan dan kekuatan kita. Dia mengenal kita secara personal. Dia tahu kalau kita mampu untuk sendiri. Dia mengirimkan kita sendiri, dan akan memanggil kita juga sendiri. Apapun yang kita lewati di dunia ini, sejatinya kita melaluinya sendirian saja. Lalu kemudian, mendadak saja, begitu berada di dunia ini kita membangun ketakutan-ketakutan irrasional kita tentang kesendirian. Apa yang sesungguhnya harus kita takutkan kalau sejatinya kita memang sendirian, bu?

Saat ada orang yang begitu meributkan tentang kesendirianku dan menanyakan padaku kenapa ada orangtua yang membiarkan saja anak perempuannya pergi jauh seorang diri, aku sedikit tergoda untuk menjawabnya bu. Aku tahu mereka tidak akan bisa memahami pikiran kita seperti kita yang mungkin juga tidak bisa memahami pikiran mereka. Aku hanya agak marah bu, seolah-olah kalian dianggap sebagai orangtua yang buruk. Aku tahu kita semua memiliki hantu dalam pikiran kita masing-masing, dan hantu-hantu dalam pikiran orang lain sebenarnya bukanlah masalah kita.

Hanya saja, aku benar-benar ingin mengungkapkannya seperti ini.

“Kenapa tidak? Aku datang ke dunia ini seorang diri, lalu kenapa aku tidak berani untuk datang ke kota ini seorang diri?”

Tapi, seperti yang ibu tahu. Aku diam saja dan lalu tersenyum simpul.

Janji ya bu, begitu nanti aku sudah berada di rumah, kita tidak akan mulai meributkan tentang kesendirianku 🙂