BRUNO #1

Aku menatap pria tinggi berkulit putih itu dengan penasaran. Tubuhnya tampak tegap dan berotot, namun tidak berlebihan. Dia mengenakan celana jeans gelap dan kaos berwarna hijau army, dilapisi jaket denim dengan tudungan kepala. Wajahnya tampan, senyuman ramah bersahabat tersungging di bibirnya ketika dia menatapku dengan matanya yang memiliki bola mata berwarna hitam, sedikit sipit, namun tampak menyenangkan. Rambutnya berwarna coklat tua, agak berantakan, dan dia tidak repot-repot untuk merapikannya atau bahkan mungkin menyadarinya. Dugaanku, dia tidak lebih dari 27 tahun.

“Hei.” Dia menyapaku, suaranya terdengar dalam dan menenangkan. Mendengarnya saja, aku yakin dia orang yang tepat. Aku pasti akan baik-baik saja jika bersamanya.

“Siap pulang ke rumah?” tanyanya, kali ini tampak begitu bersemangat. Aku berusaha keras untuk tetap berdiri dengan tenang. Satu hal yang tidak ingin kutunjukkan padanya saat pertemuan pertama kami adalah, aku juga bisa jadi sangat bersemangat jika terpancing. Tapi untunglah kali ini aku tidak membuat ulah dan mengacaukan kesempatan yang bisa menyebabkan kekecewaan bagi kami berdua. Aku bisa melihat sejak pandangannya jatuh padaku, dia suka sekali padaku. Aku juga menyukainya. Dari semua yang ada di sini, aku senang pada akhirnya akulah yang terpilih.

“Nah, silahkan masuk.” Pria itu membukakan pintu mobil untukku sebelum kemudian dia masuk di sisi pengemudi. “Omong-omong, namaku Jonghyun. Tapi lidah orang di sini lebih terbiasa memanggilku, John.” Dia terkekeh pelan, melirikku untuk melihat bagaimana reaksiku. Aku hanya balas menatapnya, menunjukkan kalau aku mendengarkan. Dilihat dari mimik wajahnya, kurasa baginya itu sudah cukup.

“Mulai sekarang kau bisa menganggapku sebagai Appa-mu,” katanya. Aku menelengkan kepalaku padanya, tidak mengerti, dan dia terkekeh lagi. “Daddy?”

Oh, Ayah! Aku suka itu. Meskipun dia jelas masih sangat muda untuk jadi ayahku. Bagaimana kalau kami jadi sahabat saja? Dia tampaknya pria yang sangat menyenangkan.

“Kau akan suka berada di rumah. Aku membeli rumah di kawasan Victoria Road. Ada halaman depan dan belakang yang luas, kolam renang, pepohonan, ruangan-ruangan lapang, kau bisa bermain sepuasnya. Kecuali, kau mungkin harus menjauhi area dapur, ruangan kerja Hills, studioku, dan kamar tidur kami. Selain itu kau bebas,” jelasnya.

Aku bertanya-tanya siapa itu Hills dan apa artinya ‘kami’. Apakah Hills itu pacarnya? Apakah itu artinya John tidak tinggal sendirian saja? Maksudku sekarang, berdua, jika ditambah aku.

“Kami baru saja menikah, aku dan Hills. Baru sekitar lima bulan,” jelasnya lagi, seperti bisa membaca pikiranku. Jadi, dia sudah menikah. Aku jadi penasaran gadis seperti apa Hills ini. Dari nada suara John saat menyebut namanya, dia terdengar begitu spesial.

 “Sebenarnya aku mau memberinya kejutan, dia mungkin akan kaget saat nanti melihatmu. Jadi kumohon, kau bisa bersikap tenang sampai nanti bertemu dengannya, kan? Dia baik, aku yakin dia akan menerimamu,” kata John  menenangkan.

Oke, mari berharap semoga itu benar.

Aku menatap keluar jendela, berusaha keras untuk tidak melongokkan kepalaku dan merasakan langsung tiupan angin. Aku selalu suka melakukannya. Tapi, jika dia memintaku duduk tenang, maka itulah yang akan kulakukan. Aku tidak mau mengecewakannya. Aku langsung menyukai John, aku tidak mau mengecewakannya dengan bersikap buruk. Tapi lagi-lagi, dia seperti bisa membaca pikiranku. Dia menurunkan kaca jendela mobil lebih rendah dan segera saja serbuan angin segar masuk. Aku tidak bisa lagi menahan diri. Aku langsung melongokkan kepalaku ke jendela dan merasakan angin menampar wajahku. Menyenangkan.

“Kau suka ya?” tanya John. Dia tertawa, dan untuk pertama kalinya kurasakan tangannya hinggap di puncak kepalaku. Memberikan sentuhan hangat yang akrab dan menyenangkan yang langsung kusukai. “Kalau begitu nikmati saja, tapi hati-hati jangan sampai jatuh.” Dia memperingatkan.

Tidak akan John! Aku mahir melakukan ini. Tapi aku senang dia mengkhawatirkan keselamatanku, membuatku benar-benar merasa dimiliki dan diinginkan. John menghidupkan MP3 Player di dasbor mobilnya, dan tiba-tiba suara bising memekakkan memenuhi mobil. Dia nyengir.

“Kau suka musik rock?” tanyanya. Suara memekakkan itu dia sebut musik?

“Sepertinya tidak.” Dia menyimpulkan, lagi-lagi dengan tepat. Jangan-jangan dia memang bisa membaca pikiranku.

“Bagaimana kalau ini?”. Sekarang suara menyayat yang terdengar dari sana, seperti gabungan dari berbagai macam alat musik. Temponya begitu pelan dan lambat, membuatku jadi mengantuk.

“Claire de Lune? Debussy?” Dia seolah meminta persetujuanku, sebagai balasannya aku menunjukkan wajah bosan. Musik klasik tidak pernah masuk seleraku.

“Oke, kurasa juga tidak.” Dia terkekeh, kembali mengganti dan mencari musik yang tepat. Kali ini alunan nada yang cukup ‘normal’ memenuhi mobil. Nadanya riang, tapi juga agak slow di saat yang sama. Aku langsung menegakkan tubuh, menyeringai padanya, dan dia balas tersenyum lebar.

“Kau suka yang ini ya? Ini favoritku dan Hills juga, kami selalu menyanyikannya jika pergi bersama,” jelasnya tanpa diminta.

let’s go to the park

i wanna kiss you underneath the stars

maybe we’ve go too far

we just don’t care. we just don’t care

John ikut bernyanyi mengikuti suara pria di lagu itu. Suaranya tenang dan terkontrol, terdengar merdu di telingaku. Aku lebih suka mendengar suara John daripada suara penyanyi aslinya.

“Kebetulan aku juga penyanyi.” Dia tergelak ketika melirikku. “Vokalis band rock lebih tepatnya. Apakah menurutmu suaraku cukup bagus?” tanyanya dengan nada geli.

Aku menelengkan kepala, menyeringai setuju, dan sebagai balasannya dia kembali meletakkan satu tangannya dia puncak kepalaku. Memberiku sentuhan hangat menyenangkan. Lagi. Aku benar-benar suka pada John.

“Nah, akhirnya kita sampai,” katanya beberapa saat kemudian. Mobil memasuki kawasan pemukiman elit yang semua rumahnya hampir-hampir mirip. Halaman berumput luas yang tertata dengan baik, rumah bergaya minimalis modern, banyak sekali kaca yang memamerkan ruangan di dalam, jalanan yang bersih dan rapi, dan di sana ada tempat khusus bagi pejalan kaki untuk mengajak jalan-jalan hewan peliharaan mereka. Dari yang bisa kulihat sekarang, kebanyakan anjing. John memarkir mobilnya di salah satu rumah itu, sebuah bangunan bertingkat dua, berada persis di tengah-tengah, dan dia turun lebih dulu sebelum kemudian membukakan pintu untukku.

Aku langsung meloncat dengan bersemangat.  Berlarian ke sana kemari di halaman berumputnya yang tertata baik itu. Ada banyak hal yang ingin kulakukan. Aku suka John, aku suka tempat ini, aku suka rumah ini. John tertawa saja melihatku, bersandar ke mobil sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada, memperhatikan setiap hal konyol yang kulakukan.

“Sudah kubilang kau akan suka,” teriaknya. 

Lalu mendadak, tiba-tiba saja terlintas olehku untuk berlari ke arahnya, nyaris menubruknya untuk memberikan pelukan terimakasih. John kaget, tapi hanya sesaat sebelum kemudian dia membalas pelukanku. Tangannya membelai-belai punggungku. Dia tertawa, dia bahkan tidak keberatan ketika aku mencium pipinya. Aku benar-benar suka pada John!

Aku tahu. Sejak detik ini, dia telah kunobatkan sebagai orang favoritku nomor satu di dunia ini.

Kami berpelukan beberapa saat lagi sampai pintu depan terbuka dan kami sama-sama menoleh. Seorang perempuan kurus tinggi berdiri di sana, menatap kami dengan mulut ternganga dan dari jarak sejauh ini aku bahkan bisa melihat mata hijaunya membelalak lebar. Seolah tidak bisa lebih besar lagi. Mungkin dia mencerna tentang apa yang dilihatnya sedang kulakukan dengan John.

“Hei, Sayang!” John melambai riang padanya, namun perempuan itu hanya mematung. Tatapannya beralih antara aku dan John, tampak tak percaya.

“Itu dia Hillary, Hills.” John berbisik padaku dengan nada mengajak berkonspirasi. “Bersikap baik dan tenanglah, oke? Dan jangan langsung menubruknya seperti yang baru saja kau lakukan padaku. Aku tidak keberatan, tapi mungkin dia akan kaget dan tidak terlalu suka.”

Oke. Aku melepaskan John dan berdiri dengan sikap tenang dan patuh. Hills tampaknya tidak berniat bergerak dari tempatnya berdiri sekarang, jadi akhirnya aku dan John yang berjalan menghampirinya.  Dia masih saja terbelalak, hampir-hampir terlihat ngeri ketika tatapannya tertuju padaku yang mengikuti di belakang John.

“Kupikir kau masih di kantor,” kata John ketika sudah berada persis di depannya. John meraih pinggangnya yang ramping dan memberinya ciuman singkat yang hangat. Dia masih tidak bereaksi. Bahkan saat John menciumnya, matanya tetap membelalak padaku.

“Jong, apa ini?” tanyanya ketika John sudah melepaskannya. Nada suaranya terdengar ngeri. Cocok dengan tatapannya.

“Aku bisa menjelaskan,” kata John, terlihat agak bersalah. Dia menoleh padaku sekilas sebelum menghadap pada Hills lagi.

“Bukankah seharusnya kau mendiskusikannya dulu denganku? Kau tidak bisa memutuskan sesuatu seperti ini sendiri!” Suara Hills sekarang naik, jadi melengking tajam.

Aku diam saja. Berusaha tetap tenang. Bagaimana kalau misalnya dia tidak setuju John mengadopsi aku? Apakah itu artinya aku harus kembali ke tempat mengerikan itu lagi? Setiap hari makan makanan tidak enak, diperlakukan dengan buruk oleh orang yang mengaku ‘bertanggungjawab’ padaku, pada kami, dan menghabiskan waktu berharap ada orang baik seperti John akan datang dan membawaku pergi? Atau yang lebih buruk lagi, dilemparkan ke jalan. Hidup di jalan jauh lebih mengerikan. Aku baru saja bertemu John. Aku baru saja menemukan tempat yang bisa kusebut rumah, dan tiba-tiba semua terasa begitu mustahil hanya karena tatapan ngeri Hills padaku.

“Kita bisa mengasuhnya sebelum kita punya bayi. Dia sangat tenang, tidakkah kau lihat dia sangat manis?” Walaupun John mengucapkannya sambil berbisik dengan nada membujuk, aku masih bisa mendengarnya. Aku bisa mendeteksi kekhawatiran dalam suara John. Dia juga tidak yakin akan persetujuan Hills. Aku merasakan bahuku melorot, sangat kecewa, dan merana.

“Tapi lihat! Dia sangat besar! Dan… dan hitam legam!!!” pekik Hills tertahan.

Hei, bukan salahku kalau tubuhku begini besar dan berwarna hitam. Aku tidak bisa meminta seperti apa aku terlahir. Sama seperti dia yang tidak bisa meminta kulit sepucat dan sehalus itu. Dan omong-omong tentang hitam, rambutnya sendiri juga sangat hitam, jatuh dengan lembut di bahunya. Dia sangat cantik jika seandainya mau menyingkirkan ekspresi ngeri begitu dari wajahnya. John dan Hills sama-sama tinggi, langsing, berkulit pucat dan berambut gelap. Mereka pasangan yang menarik. Satu-satunya yang tampak berbeda hanyalah warna mata mereka, mata John hitam dan mata Hills hijau. Aku sangat ingin tinggal bersama mereka.

Kumohon, ijinkan aku. Aku menatap Hills dengan pandangan memelas minta dikasihani.

“Dia memang besar dan tampak galak, tapi dia tidak berbahaya. Jika dia tinggal bersama kita, aku jamin rumah kita akan lebih ramai. Kau sering mengeluhkan tentang betapa sepinya rumah kalau aku harus keluar negeri beberapa hari atau semacamnya kan?” John menyentuh pipinya lembut, masih berusaha membujuk, dan Hills hanya menghela nafas. Menatap John antara jengkel dan menyerah, sebelum kembali menatapku lagi.

“Kenapa tampangnya begitu?” tanyanya pada John. “Dia tampak menyedihkan…” Dia mengatakan hal itu dengan nada yang lebih bersahabat.

“Ya, dia juga begitu saat aku pertama kali melihatnya. Aku langsung jatuh hati dan memutuskan untuk mengadopsinya,” kata John.

Sekarang, mereka berdua menatapku. Tatapan Hills mulai melembut. Aku jadi berani berharap lebih banyak.

“Berapa umurnya?” Dia kembali bertanya pada John.

“Entahlah, kurasa 3 tahun?” John menebak, menatapku dengan seksama.

Salah! Aku 4 tahun John!

“Jadi, kau setuju dia tinggal dengan kita?” Aku juga mendengar nada berharap dalam suara John. Dari tadi mereka membicarakanku  seolah-olah aku tuli dan tidak mengerti. Tapi sudahlah, aku sudah cukup terbiasa dengan perlakuan begitu dari orang-orang yang mau mengadopsiku. Aku sama sekali tidak tersinggung.

“Aku tidak bisa mengurusnya dengan baik, aku tidak bisa berjanji aku akan mengajaknya jalan-jalan atau semacamnya,” kata Hills.

“Tidak masalah, akan kulakukan,” kata John langsung.

“Kau tidak boleh dekat-dekat dapur, ruang kerjaku, studio Jonghyun, dan kamar tidur kami, mengerti?” Sekarang Hills bicara langsung padaku. Aku mamasang sikap patuh. Kulihat John mengedip padaku sambil menyeringai.

“Aku sudah bilang begitu padanya tadi,” katanya.

“Jadi rupanya kalian sudah bicara.” Hills mendengus.

“Begitulah.” John mengedikkan bahu, nyengir. “Dan kau pasti tidak percaya kalau dia juga suka lagu kita, John Legend- PDA. Dia juga tidak suka musik rock dan musik klasik.”

“Masa?” Hills memang tampak tak percaya.

“Sungguh,” kata John meyakinkan. Hills menatapnya seolah-olah John baru saja mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Kurasa dia hanya tidak mengerti kalau aku dan John bisa langsung akrab dan saling memahami walaupun kebanyakan interaksi kami hanya percakapan satu arah.

“Terserahlah,” kata Hills akhirnya, dia mendahului masuk ke dalam. John membukakan pintu lebar-lebar untukku, memperlihatkan ruangan lapang berlangit-langit tinggi dan jendela kaca di mana-mana. Aku agak terpeleset saat berusaha berjalan di lantai granit licin.

“Omong-omong,” kata Hills, dia berdiri di depan tangga yang menuju lantai dua. “Siapa namanya?”

John menatapku, seperti baru saja melupakan sesuatu yang penting. Aku balas menatapnya, berharap dia tidak memikirkan nama mengerikan untuk diberikan padaku.

“Bagaimana kalau kita menamainya Bruno?” tanyanya lambat-lambat, seperti meminta persetujuan padaku.

“Oke,” kata Hills singkat, sebelum berjalan menaiki tangga.

Ya. Oke. Bruno, tidak masalah. Kurasa aku suka nama itu.

“Ayo, Nak!” John mengajakku menuju halaman belakang yang lebih luas lagi. “Kau mau berlarian sepuasnya? Nah, silahkan!”

Aku menatap halaman belakang itu dengan kagum. Ada kolam renang besar dengan air biru jernih, ada halaman berumput hijau yang dipangkas rapi, aku bisa menggali sepuasnya. Dan tunggu! Apa yang baru saja dilemparkan John? Apakah sebuah bola? Aku suka bola! Aku langsung berlari kencang mengejarnya, berharap bisa menangkapnya sebelum benda itu jatuh ke tanah.

Berhasil! Kudengar John tertawa senang.

“Tangkapan bagus, Buddy!”

Namaku Bruno. Aku seekor anjing jenis Great Dane, dan buluku hitam legam. Aku punya rumah mewah di Victoria Road. Dan diatas itu semua aku sekarang punya keluarga. Aku tahu aku masih harus mengambil hati Hills, tapi aku punya John. Kami bisa jadi teman yang sangat baik.

Kurasa, mulai sekarang hidupku akan baik-baik saja.

Leave a comment