Hutang

Kamu tidak akan tahu karakter seseorang, sampai kamu berurusan tentang uang dengannya

Ungkapan itu benar adanya. Beberapa waktu belakangan, gue lagi keasikan jualan online. Berawal dari teman SMA yang jualan bumbu instan dan gue cobain dan ternyata enak, guepun berniat jadi reseller. As a pedagang newbie, gue nggak punya ekspektasi apa-apa. Ada yang nanya aja udah seneng. Mungkin karena momennya tepat, yang beli ternyata lumayan banyak.

Adalah satu orang ini, teman yang lumayan dekat saat dulu kerja. Gue kenal baik orangnya, royal, asik, gak pelit dan seru, dan yang paling penting adalah orangnya juga udah lebih dulu ngaji dan kenal sunnah. Dalam bayangan gue, orang ini sudah pasti amanah. Guepun menawarkan dagangan ke dia. Harganya tidaklah seberapa. Bahkan kalau dia minta gratispun sekedar buat sampel, gue bakalan ngasih. Tapi dia membeli. Oke, gue kirimlah barang itu serta ngasih tau nomor rekening beserta nominal yang harus dia bayarkan.

Karena waktu itu orderan lumayan banyak dan agak riweuh, guepun lupa ngecek dia udah bayar atau belum. Beberapa hari kemudian saat semua orderan udah kekirim, baru gue ngecek siapa aja yang udah bayar dan ternyata dia belum. Tapi gue masih postink, mungkin dia udah bayar tapi lupa konfirm (meski emang belom ada notif yg masuk ke rek). Akhirnya gw minta secara halus

“mbak kalo nanti udah transfer kabarin ya, takut ketiban sm transferan yg lain”

Jawab dia

“kan kamu belom ngirim nomor rekening”

Gue mikir, belom ya? Akhirnya gue kirim ulang. Setelah gw scroll wa ke atas, ternyata gue udah ngirim dari awal. Dan kalaupun belom, seharusnya dia yang nanya kan karena dia yang statusnya berutang? Dari situ udah mulai males. Gue nggak suka dengan attitude dia yang nggak ngomong apa-apa dan membuat gue bersuudzon. Akhirnya dia bayar hutang itu setelah beberapa hari.

Lanjut kasus kedua, ketika gue mulai ngejualin buku-buku preloved karena gue sadar, gue udah nggak secinta dulu sama buku. Si mbak ini juga beli lagi. Harganya juga murah banget. Kalau dia minta juga gue kasih aja sih soalnya gue juga udah nggak perlu buku itu. Tapi dia nggak minta, dia beli. Oke fine. Gue jual, langsung gue kirim. Dan sampai sekarang dia nggak ngabarin apakah sudah bayar apa belum (dan kayaknya belom karena belom ada notif masuk ke rekening gue). Kemaren gue ngirim lagi norek, tapi wa gue cuma di read doang.

Baiklah, nggak papa juga sebenernya. Gue cuma jadi tahu aja karakternya. Salah satu sifat orang yang paling bikin ilfeel buat gue adalah orang yang nggak amanah soal hutang. Kalau belum bisa bayar, kabarin orangnya, jangan diem aja. Setidaknya itu itikad baik kalau kamu selalu ingat sama hutang kamu.

BRUNO #1

Aku menatap pria tinggi berkulit putih itu dengan penasaran. Tubuhnya tampak tegap dan berotot, namun tidak berlebihan. Dia mengenakan celana jeans gelap dan kaos berwarna hijau army, dilapisi jaket denim dengan tudungan kepala. Wajahnya tampan, senyuman ramah bersahabat tersungging di bibirnya ketika dia menatapku dengan matanya yang memiliki bola mata berwarna hitam, sedikit sipit, namun tampak menyenangkan. Rambutnya berwarna coklat tua, agak berantakan, dan dia tidak repot-repot untuk merapikannya atau bahkan mungkin menyadarinya. Dugaanku, dia tidak lebih dari 27 tahun.

“Hei.” Dia menyapaku, suaranya terdengar dalam dan menenangkan. Mendengarnya saja, aku yakin dia orang yang tepat. Aku pasti akan baik-baik saja jika bersamanya.

“Siap pulang ke rumah?” tanyanya, kali ini tampak begitu bersemangat. Aku berusaha keras untuk tetap berdiri dengan tenang. Satu hal yang tidak ingin kutunjukkan padanya saat pertemuan pertama kami adalah, aku juga bisa jadi sangat bersemangat jika terpancing. Tapi untunglah kali ini aku tidak membuat ulah dan mengacaukan kesempatan yang bisa menyebabkan kekecewaan bagi kami berdua. Aku bisa melihat sejak pandangannya jatuh padaku, dia suka sekali padaku. Aku juga menyukainya. Dari semua yang ada di sini, aku senang pada akhirnya akulah yang terpilih.

“Nah, silahkan masuk.” Pria itu membukakan pintu mobil untukku sebelum kemudian dia masuk di sisi pengemudi. “Omong-omong, namaku Jonghyun. Tapi lidah orang di sini lebih terbiasa memanggilku, John.” Dia terkekeh pelan, melirikku untuk melihat bagaimana reaksiku. Aku hanya balas menatapnya, menunjukkan kalau aku mendengarkan. Dilihat dari mimik wajahnya, kurasa baginya itu sudah cukup.

“Mulai sekarang kau bisa menganggapku sebagai Appa-mu,” katanya. Aku menelengkan kepalaku padanya, tidak mengerti, dan dia terkekeh lagi. “Daddy?”

Oh, Ayah! Aku suka itu. Meskipun dia jelas masih sangat muda untuk jadi ayahku. Bagaimana kalau kami jadi sahabat saja? Dia tampaknya pria yang sangat menyenangkan.

“Kau akan suka berada di rumah. Aku membeli rumah di kawasan Victoria Road. Ada halaman depan dan belakang yang luas, kolam renang, pepohonan, ruangan-ruangan lapang, kau bisa bermain sepuasnya. Kecuali, kau mungkin harus menjauhi area dapur, ruangan kerja Hills, studioku, dan kamar tidur kami. Selain itu kau bebas,” jelasnya.

Aku bertanya-tanya siapa itu Hills dan apa artinya ‘kami’. Apakah Hills itu pacarnya? Apakah itu artinya John tidak tinggal sendirian saja? Maksudku sekarang, berdua, jika ditambah aku.

“Kami baru saja menikah, aku dan Hills. Baru sekitar lima bulan,” jelasnya lagi, seperti bisa membaca pikiranku. Jadi, dia sudah menikah. Aku jadi penasaran gadis seperti apa Hills ini. Dari nada suara John saat menyebut namanya, dia terdengar begitu spesial.

 “Sebenarnya aku mau memberinya kejutan, dia mungkin akan kaget saat nanti melihatmu. Jadi kumohon, kau bisa bersikap tenang sampai nanti bertemu dengannya, kan? Dia baik, aku yakin dia akan menerimamu,” kata John  menenangkan.

Oke, mari berharap semoga itu benar.

Aku menatap keluar jendela, berusaha keras untuk tidak melongokkan kepalaku dan merasakan langsung tiupan angin. Aku selalu suka melakukannya. Tapi, jika dia memintaku duduk tenang, maka itulah yang akan kulakukan. Aku tidak mau mengecewakannya. Aku langsung menyukai John, aku tidak mau mengecewakannya dengan bersikap buruk. Tapi lagi-lagi, dia seperti bisa membaca pikiranku. Dia menurunkan kaca jendela mobil lebih rendah dan segera saja serbuan angin segar masuk. Aku tidak bisa lagi menahan diri. Aku langsung melongokkan kepalaku ke jendela dan merasakan angin menampar wajahku. Menyenangkan.

“Kau suka ya?” tanya John. Dia tertawa, dan untuk pertama kalinya kurasakan tangannya hinggap di puncak kepalaku. Memberikan sentuhan hangat yang akrab dan menyenangkan yang langsung kusukai. “Kalau begitu nikmati saja, tapi hati-hati jangan sampai jatuh.” Dia memperingatkan.

Tidak akan John! Aku mahir melakukan ini. Tapi aku senang dia mengkhawatirkan keselamatanku, membuatku benar-benar merasa dimiliki dan diinginkan. John menghidupkan MP3 Player di dasbor mobilnya, dan tiba-tiba suara bising memekakkan memenuhi mobil. Dia nyengir.

“Kau suka musik rock?” tanyanya. Suara memekakkan itu dia sebut musik?

“Sepertinya tidak.” Dia menyimpulkan, lagi-lagi dengan tepat. Jangan-jangan dia memang bisa membaca pikiranku.

“Bagaimana kalau ini?”. Sekarang suara menyayat yang terdengar dari sana, seperti gabungan dari berbagai macam alat musik. Temponya begitu pelan dan lambat, membuatku jadi mengantuk.

“Claire de Lune? Debussy?” Dia seolah meminta persetujuanku, sebagai balasannya aku menunjukkan wajah bosan. Musik klasik tidak pernah masuk seleraku.

“Oke, kurasa juga tidak.” Dia terkekeh, kembali mengganti dan mencari musik yang tepat. Kali ini alunan nada yang cukup ‘normal’ memenuhi mobil. Nadanya riang, tapi juga agak slow di saat yang sama. Aku langsung menegakkan tubuh, menyeringai padanya, dan dia balas tersenyum lebar.

“Kau suka yang ini ya? Ini favoritku dan Hills juga, kami selalu menyanyikannya jika pergi bersama,” jelasnya tanpa diminta.

let’s go to the park

i wanna kiss you underneath the stars

maybe we’ve go too far

we just don’t care. we just don’t care

John ikut bernyanyi mengikuti suara pria di lagu itu. Suaranya tenang dan terkontrol, terdengar merdu di telingaku. Aku lebih suka mendengar suara John daripada suara penyanyi aslinya.

“Kebetulan aku juga penyanyi.” Dia tergelak ketika melirikku. “Vokalis band rock lebih tepatnya. Apakah menurutmu suaraku cukup bagus?” tanyanya dengan nada geli.

Aku menelengkan kepala, menyeringai setuju, dan sebagai balasannya dia kembali meletakkan satu tangannya dia puncak kepalaku. Memberiku sentuhan hangat menyenangkan. Lagi. Aku benar-benar suka pada John.

“Nah, akhirnya kita sampai,” katanya beberapa saat kemudian. Mobil memasuki kawasan pemukiman elit yang semua rumahnya hampir-hampir mirip. Halaman berumput luas yang tertata dengan baik, rumah bergaya minimalis modern, banyak sekali kaca yang memamerkan ruangan di dalam, jalanan yang bersih dan rapi, dan di sana ada tempat khusus bagi pejalan kaki untuk mengajak jalan-jalan hewan peliharaan mereka. Dari yang bisa kulihat sekarang, kebanyakan anjing. John memarkir mobilnya di salah satu rumah itu, sebuah bangunan bertingkat dua, berada persis di tengah-tengah, dan dia turun lebih dulu sebelum kemudian membukakan pintu untukku.

Aku langsung meloncat dengan bersemangat.  Berlarian ke sana kemari di halaman berumputnya yang tertata baik itu. Ada banyak hal yang ingin kulakukan. Aku suka John, aku suka tempat ini, aku suka rumah ini. John tertawa saja melihatku, bersandar ke mobil sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada, memperhatikan setiap hal konyol yang kulakukan.

“Sudah kubilang kau akan suka,” teriaknya. 

Lalu mendadak, tiba-tiba saja terlintas olehku untuk berlari ke arahnya, nyaris menubruknya untuk memberikan pelukan terimakasih. John kaget, tapi hanya sesaat sebelum kemudian dia membalas pelukanku. Tangannya membelai-belai punggungku. Dia tertawa, dia bahkan tidak keberatan ketika aku mencium pipinya. Aku benar-benar suka pada John!

Aku tahu. Sejak detik ini, dia telah kunobatkan sebagai orang favoritku nomor satu di dunia ini.

Kami berpelukan beberapa saat lagi sampai pintu depan terbuka dan kami sama-sama menoleh. Seorang perempuan kurus tinggi berdiri di sana, menatap kami dengan mulut ternganga dan dari jarak sejauh ini aku bahkan bisa melihat mata hijaunya membelalak lebar. Seolah tidak bisa lebih besar lagi. Mungkin dia mencerna tentang apa yang dilihatnya sedang kulakukan dengan John.

“Hei, Sayang!” John melambai riang padanya, namun perempuan itu hanya mematung. Tatapannya beralih antara aku dan John, tampak tak percaya.

“Itu dia Hillary, Hills.” John berbisik padaku dengan nada mengajak berkonspirasi. “Bersikap baik dan tenanglah, oke? Dan jangan langsung menubruknya seperti yang baru saja kau lakukan padaku. Aku tidak keberatan, tapi mungkin dia akan kaget dan tidak terlalu suka.”

Oke. Aku melepaskan John dan berdiri dengan sikap tenang dan patuh. Hills tampaknya tidak berniat bergerak dari tempatnya berdiri sekarang, jadi akhirnya aku dan John yang berjalan menghampirinya.  Dia masih saja terbelalak, hampir-hampir terlihat ngeri ketika tatapannya tertuju padaku yang mengikuti di belakang John.

“Kupikir kau masih di kantor,” kata John ketika sudah berada persis di depannya. John meraih pinggangnya yang ramping dan memberinya ciuman singkat yang hangat. Dia masih tidak bereaksi. Bahkan saat John menciumnya, matanya tetap membelalak padaku.

“Jong, apa ini?” tanyanya ketika John sudah melepaskannya. Nada suaranya terdengar ngeri. Cocok dengan tatapannya.

“Aku bisa menjelaskan,” kata John, terlihat agak bersalah. Dia menoleh padaku sekilas sebelum menghadap pada Hills lagi.

“Bukankah seharusnya kau mendiskusikannya dulu denganku? Kau tidak bisa memutuskan sesuatu seperti ini sendiri!” Suara Hills sekarang naik, jadi melengking tajam.

Aku diam saja. Berusaha tetap tenang. Bagaimana kalau misalnya dia tidak setuju John mengadopsi aku? Apakah itu artinya aku harus kembali ke tempat mengerikan itu lagi? Setiap hari makan makanan tidak enak, diperlakukan dengan buruk oleh orang yang mengaku ‘bertanggungjawab’ padaku, pada kami, dan menghabiskan waktu berharap ada orang baik seperti John akan datang dan membawaku pergi? Atau yang lebih buruk lagi, dilemparkan ke jalan. Hidup di jalan jauh lebih mengerikan. Aku baru saja bertemu John. Aku baru saja menemukan tempat yang bisa kusebut rumah, dan tiba-tiba semua terasa begitu mustahil hanya karena tatapan ngeri Hills padaku.

“Kita bisa mengasuhnya sebelum kita punya bayi. Dia sangat tenang, tidakkah kau lihat dia sangat manis?” Walaupun John mengucapkannya sambil berbisik dengan nada membujuk, aku masih bisa mendengarnya. Aku bisa mendeteksi kekhawatiran dalam suara John. Dia juga tidak yakin akan persetujuan Hills. Aku merasakan bahuku melorot, sangat kecewa, dan merana.

“Tapi lihat! Dia sangat besar! Dan… dan hitam legam!!!” pekik Hills tertahan.

Hei, bukan salahku kalau tubuhku begini besar dan berwarna hitam. Aku tidak bisa meminta seperti apa aku terlahir. Sama seperti dia yang tidak bisa meminta kulit sepucat dan sehalus itu. Dan omong-omong tentang hitam, rambutnya sendiri juga sangat hitam, jatuh dengan lembut di bahunya. Dia sangat cantik jika seandainya mau menyingkirkan ekspresi ngeri begitu dari wajahnya. John dan Hills sama-sama tinggi, langsing, berkulit pucat dan berambut gelap. Mereka pasangan yang menarik. Satu-satunya yang tampak berbeda hanyalah warna mata mereka, mata John hitam dan mata Hills hijau. Aku sangat ingin tinggal bersama mereka.

Kumohon, ijinkan aku. Aku menatap Hills dengan pandangan memelas minta dikasihani.

“Dia memang besar dan tampak galak, tapi dia tidak berbahaya. Jika dia tinggal bersama kita, aku jamin rumah kita akan lebih ramai. Kau sering mengeluhkan tentang betapa sepinya rumah kalau aku harus keluar negeri beberapa hari atau semacamnya kan?” John menyentuh pipinya lembut, masih berusaha membujuk, dan Hills hanya menghela nafas. Menatap John antara jengkel dan menyerah, sebelum kembali menatapku lagi.

“Kenapa tampangnya begitu?” tanyanya pada John. “Dia tampak menyedihkan…” Dia mengatakan hal itu dengan nada yang lebih bersahabat.

“Ya, dia juga begitu saat aku pertama kali melihatnya. Aku langsung jatuh hati dan memutuskan untuk mengadopsinya,” kata John.

Sekarang, mereka berdua menatapku. Tatapan Hills mulai melembut. Aku jadi berani berharap lebih banyak.

“Berapa umurnya?” Dia kembali bertanya pada John.

“Entahlah, kurasa 3 tahun?” John menebak, menatapku dengan seksama.

Salah! Aku 4 tahun John!

“Jadi, kau setuju dia tinggal dengan kita?” Aku juga mendengar nada berharap dalam suara John. Dari tadi mereka membicarakanku  seolah-olah aku tuli dan tidak mengerti. Tapi sudahlah, aku sudah cukup terbiasa dengan perlakuan begitu dari orang-orang yang mau mengadopsiku. Aku sama sekali tidak tersinggung.

“Aku tidak bisa mengurusnya dengan baik, aku tidak bisa berjanji aku akan mengajaknya jalan-jalan atau semacamnya,” kata Hills.

“Tidak masalah, akan kulakukan,” kata John langsung.

“Kau tidak boleh dekat-dekat dapur, ruang kerjaku, studio Jonghyun, dan kamar tidur kami, mengerti?” Sekarang Hills bicara langsung padaku. Aku mamasang sikap patuh. Kulihat John mengedip padaku sambil menyeringai.

“Aku sudah bilang begitu padanya tadi,” katanya.

“Jadi rupanya kalian sudah bicara.” Hills mendengus.

“Begitulah.” John mengedikkan bahu, nyengir. “Dan kau pasti tidak percaya kalau dia juga suka lagu kita, John Legend- PDA. Dia juga tidak suka musik rock dan musik klasik.”

“Masa?” Hills memang tampak tak percaya.

“Sungguh,” kata John meyakinkan. Hills menatapnya seolah-olah John baru saja mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Kurasa dia hanya tidak mengerti kalau aku dan John bisa langsung akrab dan saling memahami walaupun kebanyakan interaksi kami hanya percakapan satu arah.

“Terserahlah,” kata Hills akhirnya, dia mendahului masuk ke dalam. John membukakan pintu lebar-lebar untukku, memperlihatkan ruangan lapang berlangit-langit tinggi dan jendela kaca di mana-mana. Aku agak terpeleset saat berusaha berjalan di lantai granit licin.

“Omong-omong,” kata Hills, dia berdiri di depan tangga yang menuju lantai dua. “Siapa namanya?”

John menatapku, seperti baru saja melupakan sesuatu yang penting. Aku balas menatapnya, berharap dia tidak memikirkan nama mengerikan untuk diberikan padaku.

“Bagaimana kalau kita menamainya Bruno?” tanyanya lambat-lambat, seperti meminta persetujuan padaku.

“Oke,” kata Hills singkat, sebelum berjalan menaiki tangga.

Ya. Oke. Bruno, tidak masalah. Kurasa aku suka nama itu.

“Ayo, Nak!” John mengajakku menuju halaman belakang yang lebih luas lagi. “Kau mau berlarian sepuasnya? Nah, silahkan!”

Aku menatap halaman belakang itu dengan kagum. Ada kolam renang besar dengan air biru jernih, ada halaman berumput hijau yang dipangkas rapi, aku bisa menggali sepuasnya. Dan tunggu! Apa yang baru saja dilemparkan John? Apakah sebuah bola? Aku suka bola! Aku langsung berlari kencang mengejarnya, berharap bisa menangkapnya sebelum benda itu jatuh ke tanah.

Berhasil! Kudengar John tertawa senang.

“Tangkapan bagus, Buddy!”

Namaku Bruno. Aku seekor anjing jenis Great Dane, dan buluku hitam legam. Aku punya rumah mewah di Victoria Road. Dan diatas itu semua aku sekarang punya keluarga. Aku tahu aku masih harus mengambil hati Hills, tapi aku punya John. Kami bisa jadi teman yang sangat baik.

Kurasa, mulai sekarang hidupku akan baik-baik saja.

Tentang Do San

Drama Start Up yang sedang booming banget dan menimbulkan perpecahan di kalangan penggemar antara mendukung main lead atau second lead male nya membuat gue ingin beropini juga.

Well, sudah lama rasanya tidak bucin pada karakter fiksi. Tapi pada akhirnya, gue menemukan karakter cowok yang mungkin gue sukai hampir sebesar gue menyukai Michael Moscovitz, yaitu Nam Do San. Ha ha.

Kenapa Nam Do San?

Pertama, karena dia tokoh cowok di drama Korea yang diciptakan biasa banget banget! Kecuali fakta bahwa dia jenius komputer kayak Michael Moscovitz, semua tentang dia betul-betul biasa.

Dia punya keluarga yang normal, punya temen-temen yang baik dan agak cupu, cakep tapi bukan yang wow banget, pemalu pas naksir cewek tapi tulus dan jujur, punya sisi egois, rada insecure, pengen berbisnis tapi ga ngerti bisnis, dan banyak hal lain yang bisa kita temuin pada cowok-cowok kebanyakan di dunia nyata.

Dan yang terpenting, Alhamdulillah Ya Allaah, dia bukan temen masa kecil, atau cinta pertama atau apapun yang ada hubungannya dengan tokoh ceweknya di masa lalu. Gue udah lelah banget dengan alur cerita semacam itu.

Gue bener-bener suka sama penggambaran karakter Nam Do San, dan juga akting aktor yang meranin (Nam Joo Hyuk) nya pas banget. Gimana awkwardnya dia, gimana insecure dan tertekannya dia, dan gimana dia suka tapi malu sama Dal Mi. Atau mungkin emang tipe cowok kesukaan gue adalah cowok pinter tapi awkward macem Pak Suami 😂, jadi baik fiksi ataupun yang nyata gue sukanya begitu.

Kenapa bukan Han Ji Pyeong?

Pada awalnya gue emang suka karakter ini sebelum Do San muncul. Tapi menurut gue karakter Ji Pyeong kurang real. Dia yatim piatu, keluar dari panti asuhan dan punya bakat dalam bidang investasi trus diceritain akhirnya kaya raya. I mean, berapa banyak orang di dunia nyata yang berhasil sukses kayak Ji Pyeong tanpa dukungan siapa-siapa kecuali nenek Dal Mi yang minjamin rekeningnya? Mungkin ada, tapi ga banyak.

Lalu, apakah Start Up bagus? Sejujurnya gue agak kecewa pas nonton. Karena ekspektasi gue awalnya ini murni tentang membangun bisnis start up, kisah cinta hanya bumbu pelengkap. Tapi seiring berjalannya episode malah lebih banyak membahas kisah cinta segitiga yang menurut gue bertele-tele. Trus karakter Jung Saha gue nggak ngerti fungsi dia apa selain cuma bahan ceng cengan temennya Do San, padahal diceritain dia hebat tapi jobdesk nya nggak jelas apaan.

Kalau tidak berekspektasi tentang bisnis drama ini masih sangat bisa dinikmati, tapi kalau ingin nonton yang bener-bener lebih banyak bisnisnya, gue masih lebih prefer Itaewon Class.

Well segitu aja.

Bye.

Yang semakin tak kupahami

… adalah, ketika kamu semakin yakin dengan ajaran agamamu, orang-orang semakin berpikir kalau kamu tidak open minded.

Dan semakin jauh kamu dari agamamu, semakin pintar dan berwawasan luaslah kamu dimata mereka.

Ah, tapi bukankah memang, dunia hanyalah tempat senda gurau?

Suatu saat di masa depan, apa-apa yang sekarang kamu sedihkan tak berarti lagi. Dan akan tiba hari dimana manusia menyesali perbuatan-perbuatan mereka.

Aku teringat kutipan bagus dari ceramah seorang ustad, “apa yang dikatakan orang hanyalah sepanjang lidah mereka saja”.

Kalimat yang hampir sama yang dulu pernah diucapkan ibuku ketika aku mengeluh akibat kata-kata menyakitkan seseorang, “memangnya kamu bakal kenapa kalau dia bilang begitu? Kata-kata tidak akan bisa menyakitimu”.

Memang, perkataan orang lain tidak bisa menyakitimu, selama kamu tidak mengizinkannya.

Karakter Fiksi yang Membuat Kita Halu

Oke, jadi gue udah agak lama nggak ngebacot dan pas banget malam ini gue abis selancar di wattpad dan menemukan suatu cerita lalu mendadak ingin ngomel-ngomel (my bad 🤣).

Salah satu kebiasaan gue kalo ngomel, gue ingin ngomel panjang lebar yang kalo cuma dipajang di status wa bakalan banyak slide nya dan juga orang ga bakalan ngerti gue ngomongin apa. Jadi sekalian aja gue tulis di blog demi menepati janji sama Indra biar rajin nge blog lagi.

Oke, inilah dia. Kenapa sih banyak banget kisah cinta fiksi tuh yang kedua tokoh utamanya ketemu random, trus kayak si cowoknya punya ketampanan yang tidak manusiawi saking tampannya, trus ternyata kerjaannya oke banget (seringnya entah engineer, entah desainer interior, entah kerja di offshore, pokoknya biar ngehalu aja kalo cowok ini tuh tajir dan pinter), dan jomblo dan langsung klik sama si tokoh utama ceweknya padahal ceweknya biasa aja dan secara kebetulan mereka suka nonton serial atau film yang sama dan langsung lancar aja gitu ngomongin tokoh film itu.

Gue kayak yang, serius nih? Sambil menyeringai nahan mual.

Gue paham sih kalo hal-hal kayak gini menyenangkan untuk ditulis karena kemungkinan terjadi di dunia nyata tuh tipis banget. Dan karena ini juga dulu gue sempat ngayal ketemu cowok yang sehobi sama gue trus ngomongnya langsung nyambung. Gue emang hopeless romantic di masa lalu. Dan lalu ingat pas lagi taaruf sama suami (waktu itu masih calon), gue dengan polosnya bertanya “suka baca buku gak?”, sambil berharap kami bisa membahas buku kayak yang sering gue baca di fiksi romantis.

Jawaban dia “nggak, ngapain buang buang waktu baca fiksi”

Dan gue langsung ngerasa bego. Pengen ngakak kalo inget itu sekarang.

Trus kenapa ya seringnya cerita romance tuh tokoh utamanya mesti ganteng dan cantik dengan pekerjaan keren. Trus keelokan rupa mereka tuh kayak diluar batas kewajaran sebagai manusia, memangnya kisah cinta orang yang biasa-biasa aja kurang menarik apa ya buat diceritain?

Mungkin ada sih yang bisa bikin kisah orang-orang biasa menjadi menarik untuk diceritain, dan bener-bener cuma penulis hebat yang bisa melakukannya. Kayak Andrea Hirata misalnya.

Sekian curhatan ga penting mamak.

Menemani dari Nol

Ada satu twit yang cukup bikin gue agak mengernyit saat scrolling IG tadi malam.

Intinya gini : perempuan yang merasa menemani lelakinya dari nol, trus pada akhirnya dikecewain.

Monmaap nih mbak, maksud situ bilang nemenin dia dari nol tuh dari masih berbentuk zigot gitu?

Asli ya, gue agak geli aja gitu sama kalimat, “aku tuh nemenin dia dari nol”. Kesannya tuh kayak terlalu menyanjung diri sendiri. Apalagi kalau statusnya masih pacaran, taunya ditinggal nikah sama yang lain.

Nemenin dari nol apanya, Maemunah. Kamu nggak menghitung perjuangan orangtuanya banting tulang buat ngegedein dia, nyekolahin dia, nguliahin dia, Ngebentuk karakter dia, ngasih makan dia sampe dia segede itu trus ketemu kamu dan kamu ujug-ujug bilang, “aku tuh nemenin dia dari nol”. What the?!

Biasanya kalimat “nemenin dari nol” ini sering dipakai untuk menggambarkan bahwa si lelaki belum menjadi “apa-apa” dari versi si kacamata perempuan. Saldo rekeningnya mungkin masih dikit, kerjanya belum stabil, secara finansial belum mapan, atau dari segi penampilan belum menarik bagi si perempuan. Intinya, dia belum memenuhi kriteria “Layak” bagi versi impian si perempuan.

Tapi percayalah, Maemunah, sebelum “apa-apa” nya dia versi kamu, dia sejak awal sudah jadi manusia yang luar biasa di mata orangtuanya.

Dia hidup dengan sehat dan bahagia itu udah sangat-sangat-sangat lebih dari cukup. Ada doa-doa yang dengan tulus mengalir dari ibu-bapaknya. Ada keringat dan cucuran airmata saat mereka berjuang membesarkan dia. Ada harapan-harapan yang terselip dalam setiap langkah kakinya.

“Menemani dari nol” bukan sedangkal menemani lelaki itu sukses dan mapan secara finansial. Yah, kecuali kamu menyelamatkan orang dari penganiayaan orangtua dan mental illnes macem Joker trus dia jadi sehat dan bahagia dan sukses trus ninggalin kamu, barulah boleh bilang kamu menemani dia dari nol.

Entahlah, agak nggak nyante aja sih gue pas denger komen begitu. Mungkin udah tabiat mak-emak kali ya doyan ngegas.

Kebayang misalnya pas Umar gede trus ketemu perempuan yang “merasa” menemani dia dari nol, mungkin langsung gue tolak aja sih. Suruh emaknya benerin parenting dia dulu, biar anaknya nggak memandang rendah orang lain macem gitu.

Fiuuhh.

Akhirnya keluar juga uneg-uneg gue 😂

Si Anak Baik

Sayangku,

Maaf, kalau mama selalu ingin rebahan saat kamu ajak bermain

Maaf, kalau masakan mama selalu menu yang itu-itu saja

Maaf, kalau kadang-kadang mama marah untuk hal yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik

Maaf, kalau mama sering menyuruhmu tidur siang agar diam-diam mama bisa mainin henpon

Maaf, kalau mama mengabaikanmu saat sibuk mengobrol di telepon dengan teman-teman mama

Maaf, kalau mama jarang mengajak main keluar rumah

Maaf, kalau mama merasa lelah saat seharusnya memiliki lebih banyak energi

Maaf, untuk semua hal mengecewakan yang mama lakukan yang selalu kamu terima dengan sabar

Dan terima kasih untuk selalu memeluk Mama setelah kita melewati hari yang berat

Kamu, selalu menjadi anak baik mama

Dinamika Bertetangga

Sejak pindah ke Bandung, ada satu nasehat yang gue pegang teguh dari Mamer (mama mertua), tetangga adalah ibarat keluarga. Apa-apa yang terjadi pada kita, tetangga adalah orang yang paling pertama tahu dan kemungkinan paling pertama menolong. Jadi, baik-baiklah dalam bergaul dan bersosialisi dengan tetangga.

Bagi orang introvert macam gue, hal ini agak sulit. Semakin bertambah umur, rasanya semakin malas gue bersosialisasi. Pengennya diem di rumah, tidur, makan, nonton, dan kalau ga perlu-perlu banget ya nggak usah keluar. Gue sempat berpikir profesi ibu rumah tangga sangat cocok buat perempuan introvert.

Tapi, semenjak Umar lahir, gue mulai merasa dia nggak bisa gue kurung di rumah terus. Dia butuh main di luar, butuh bereksplorasi dengan lingkungannya, butuh temen main selain ayah-ibunya. Dan alangkah tidak enaknya jika ke-introvert-an gue justru menghambat perkembangannya dalam bersosialisasi. Kebayang aja pas ngajak main Umar di luar, trus ketemu buibu lain yang juga lagi ngajak anaknya main, trus gue ga disapa, trus buibu itu hanya ngobrol sesama mereka, trus pas anak gue mau main sama anak mereka suasana jadi awkward karena gue nggak pernah bersosialisasi. Jadi, akhirnya gue putuskan untuk beramah tamah sama tetangga.

Dari track record gue yang sering banget pindah kontrakan karena berbagai macam hal, tempat sekarang yang tetangganya paling enak. Suami sengaja milih komplek yang warganya beragam. Karena dari keluarga kami udah kayak semacam multi suku ya (Bapak Bugis, Ibu Jawa-sunda, gue Minang), jadi di tempat sekarang pun juga isinya gado-gado, sunda-jawa-minang-chinese. Banyak juga tetangga gue yang non-muslim. Dan semuanya baik.

Gue bertanya-tanya, sesungguhnya kapan sih dimulainya perang komen di sosmed ini yang saling nyerang suku dan agama. Karena dari dulu masyarakat Indonesia bisa hidup rukun dengan beragam etnis, ras, dan agama. Atau apakah sosial media dan berita hoax yang mempengaruhi?

Dari pengalaman gue bertetangga sama orang-orang non muslim (Kristen), kita baik-baik aja. Tetangga gue yang sekarang beberapa ada yang keturunan China, dan gue sehari-hari dengan pakaian jilbab lebar, trus suami gue celana cingkrang dan jenggotan, kalau di sosmed tuh kayak sering banget gue liat perang komentar dengan alasan agama padahal fakta di lapangan damai-damai aja.

Apalagi kayak sekarang di kompek gue lagi krisis air gegara kemarau panjang, dan semua tetangga tuh saling bantu, saling berbagi, yang gue syukuri dari keadaan ini jadi kenal dekat sama tetangga.

-sebenernya pengen nulis panjang tapi bingung mau nulis apa. Efek kelamaan ga nulis jadi ga jelas 😂

Sayangku, hari ini kamu menangis karena Mama tak mengizinkanmu bermain di luar.

Lalu, kamu berbalik dan masuk ke dalam rumah dengan rasa kesal.

Meskipun kecewa, kamu tetap memeluk Mama dengan kedua tangan mungilmu, marah dan mengadu di saat yang sama.

Sabarlah Nak, Insyaa Allah di masa depan akan tiba saatnya kamu melangkah mengikuti kata hatimu, dan Mama tak lagi punya hak penuh untuk menentukan keinginanmu.

Sayangku,